Pada
umumnya, pelaksanaan tugas selalu mengandung permasalahan dan
tantangan. Masalah dan tantangan ini seringkali menimbulkan stres yang
bisa mengganggu pencapaian tujuan. Stres adalah suatu kondisi tegangan (tension)
baik secara faal maupun psikologis yang diakibatkan oleh tuntutan dari
lingkungan yang dipersepsi sebagai ancaman. Stres merupakan bagian dari
kondisi manusiawi. Dalam batas tertentu, stres membantu kita agar tetap
termotivasi (eustres). Tetapi kadang-kadang kita terlalu banyak mendapatkan stres sehingga menurunkan kualitas kinerja kita (distres). Oleh karena itu, kita perlu memiliki kemampuan mengelola stres.
Untuk bisa mengelola stres, maka langkah
yang harus kita lakukan adalah: mengenali gejala-gejala stres, memahami
faktor-faktor penyebab stres, dan melatih diri melakukan mekanisme
penanganannya (coping mechanism).
A. Gejala-gejala Stres
Stres mempengaruhi seluruh diri kita.
Kondisi stres dapat diamati dari gejala-gejalanya, baik gejala
emosional/kognitif maupun gejala fisik. Jika kita dapat menandai
gejala-gejalanya, maka kita akan dapat mengelolanya.
Seseorang yang stres tidak berarti harus
memiliki/menampakkan seluruh gejala ini, bahkan satu gejala pun sudah
bisa kita curigai sebagai pertanda bahwa seseorang mengalami stres.
Namun kita juga perlu menyadari bahwa gejala-gejala ini bisa juga
merupakan indikator dari masalah lain, misalnya karena memang benar ada
gangguan kesehatan secara fisik.
Tabel berikut menggambarkan gejala-gejala stres:
Gejala Emosional/Kognitif
|
Gejala Fisik
|
|
|
B. Faktor-Faktor Penyebab Stres
Secara umum, faktor penyebab stres meliputi:
1. Ancaman.
Persepsi tentang adanya ancaman membuat
seseorang merasa stres, baik ancaman fisik, sosial, finansial, maupun
ancaman lainnya. Keadaan akan menjadi buruk bila orang yang
mempersepsikan tentang adanya ancaman ini merasa bahwa dirinya tidak
dapat melakukan tindakan apa pun yang akan bisa mengurangi ancaman
tersebut.
2. Ketakutan
Ancaman bisa menimbulkan ketakutan.
Ketakutan membuat orang membayangkan akan terjadinya akibat yang tidak
menyenangkan, dan hal ini membuat orang menjadi stres.
3. Ketidakpastian
Saat kita merasa tidak yakin tentang
sesuatu, maka kita akan sulit membuat prediksi. Akibatnya kita merasa
tidak akan dapat mengendalikan situasi. Perasaan tidak mampu
mengendalikan situasi akan menimbulkan ketakutan. Rasa takut menyebabkan
kita merasa stres.
4. Disonansi kognitif
Bila ada kesenjangan antara apa yang kita
lakukan dengan apa yang kita pikirkan, maka dikatakan bahwa kita
mengalami disonansi kognitif, dan hal ini akan dirasakan sebagai stres.
Sebagai contoh, bila kita merasa bahwa kita adalah orang yang baik,
namun ternyata menyakiti hati orang lain, maka kita akan mengalami
disonansi dan merasa stres. Disonansi kognitif juga terjadi bila kita
tidak dapat menjaga komitmen. Kita yakin bahwa diri kita jujur dan tepat
janji, namun adakalanya situasi/lingkungan tidak mendukung kita untuk
jujur atau tepat janji. Hal ini akan membuat kita merasa stres karena
kita terancam dengan sebutan tidak jujur atau tidak mampu menepati
janji.
Faktor lain yang bisa menimbulkan stres adalah kehidupan sehari-hari, seperti:
- Kematian, baik kematian pasangan, keluarga, maupun teman
- Kesehatan: kecelakaan, sakit, kehamilan
- Kejahatan: penganiayaan seksual, perampokan, pencurian, pencopetan.
- Penganiayaan diri: penyalahgunaan obat, alkoholisme, melukai diri sendiri
- Perubahan keluarga: perpisahan, perceraian, kelahiran bayi, perkawinan.
- Masalah seksual
- Pertentangan pendapat: dengan pasangan, keluarga, teman, rekan kerja, pimpinan
- Perubahan fisik: kurang tidur, jadual kerja baru.
- Tempat baru: berlibur, pindah rumah
- Keuangan: kekurangan uang, memiliki uang, menginvestasikan uang.
- Perubahan lingkungan: di sekolah, di rumah, di tempat kerja, di kota, masuk penjara.
- Peningkatan tanggung jawab: adanya tanggungan baru, pekerjaan baru.
Di tempat kerja, selain faktor penyebab yang bersifat umum di atas, ada 6 (enam) kelompok faktor utama penyebab stres, yaitu:
- Tuntutan tugas
- Pengendalian terhadap pegawai, yang berhubungan dengan bagaimana para pegawai melaksanakan pekerjaannya
- Dukungan yang didapatkan dari rekan kerja dan pimpinan
- Hubungan dengan rekan kerja
- Pemahaman pegawai tentang peran dan tanggung jawab
- Seberapa jauh instansi tempat bekerja berunding dengan pegawai baru.
C. Reaksi Adaptasi Terhadap Stres
Seberapa banyak, lama, dan berat
keberadaan gejala-gejala stres menggambarkan pada tahap mana reaksi
seseorang terhadap stres yang dialaminya. Menurut Hans Selye (1974), ada
3 tahap reaksi adaptasi seseorang terhadap stres, yaitu:
- Tahap 1: Alarm Reaction. Gejala muncul sebagai respons permulaan terhadap adanya stres, misalnya karena harus menyusun Persiapan Mengajar Harian, seorang guru baru mendadak sakit perut/mulas-mulas.
- Tahap 2: Resistance. Seseorang yang sudah terbiasa menghadapi stres pada akhirnya akan lebih tahan (resisten) terhadap stres. Pada tahap ini, seseorang menemukan adaptasi yang baik terhadap situasi yang menimbulkan stres, sehingga alarm reaction menurun. Namun adakalanya pada tahap ini timbul diseases of adaptation, yaitu suatu keadaan dimana seolah-olah seseorang sudah beradaptasi dengan situasi yang menimbulkan stres, padahal sebenarnya adaptasinya tidak tepat sehingga timbul penyakit-penyakit seperti darah tinggi, maag, eksem, dan sebagainya.
- Tahap 3: Exhaustion. Tahap ini adalah suatu keadaan dimana seseorang benar-benar sakit, yang terjadi bila stres terus menerus dialami dan orang tersebut tidak dapat mengatasinya. Pada tahap ini gejala sudah lebih berat, misalnya seseorang menjadi benar-benar putus asa, mengalami halusinasi, delusi, dan bahkan kematian.
D. Mengelola Stres
Manusia adalah makhluk kompleks yang
berada dalam kehidupan yang kompleks pula. Kompleksitas kehidupan
berpotensi menimbulkan stres, dan menuntut seseorang untuk
mengatasinya. Cara seseorang mengatasi stres dapat dikelompokkan
menjadi dua kategori.
Pertama, cara ini merupakan cara
yang spontan dan tidak disadari, dimana pengelolaan stres berpusat pada
emosi yang dirasakan. Dalam istilah psikologi diklasifikasikan sebagai defense mechanism. Beberapa perilaku yang tergolong kedalam kelompok ini adalah:
- Acting out, yaitu menampilkan tindakan yang justru tidak mengatasi masalah. Perilaku ini lebih sering terjadi pada orang yang kurang mampu mengendalikan/menguasai diri, misalnya merusak barang-barang di sekitarnya.
- Denial, yaitu menolak mengakui keadaan yang sebenarnya. Hal ini bisa bermakna positif, bisa pula bermakna negatif. Sebagai contoh, seseorang guru menyadari bahwa dirinya memiliki kelemahan dalam berbahasa Inggris, namun ia terus berupaya untuk mempelajarinya; bisa bermakna positif bila dengan usahanya tersebut terjadi peningkatan kemampuan; bermakna negatif bila kemampuannya tidak meningkat karena memang potensinya sangat terbatas, namun ia tetap berusaha sampai mengabaikan pengembangan potensi lain yang ada dalam dirinya.
- Displacement, yaitu memindahkan/melampiaskan perasaan/emosi tertentu pada pihak/objek lain yang benar-benar tidak ada hubungannya namun dianggap lebih aman. Contohnya: Seorang guru merasa malu karena ditegur oleh Kepala Sekolah di depan guru-guru lain, maka ia melampiaskan perasaan kesalnya dengan cara memarahi murid-murid di kelas.
- Rasionalisasi, yaitu membuat alasan-alasan logis atas perilaku buruk. Contohnya: Seorang Kepala Sekolah yang tidak menegur guru yang membolos selama 3 hari mengatakan bahwa ia tidak menegur guru tersebut karena pada saat itu ia sedang mengikuti pelatihan untuk kepala sekolah di ibukota provinsi.
Kedua, cara yang disadari, yang disebut sebagai direct coping,
yaitu seseorang secara sadar melakukan upaya untuk mengatasi stres.
Jadi pengelolaan stres dipusatkan pada masalah yang menimbulkan stres.
Ada dua strategi yang bisa dilakukan untuk mengatasi stres, yaitu:
- Meningkatkan toleransi terhadap stres, dengan cara meningkatkan keterampilan/kemampuan diri sendiri, baik secara fisik maupun psikis, misalnya, Secara psikis: menyadarkan diri sendiri bahwa stres memang selalu ada dalam setiap aspek kehidupan dan dialami oleh setiap orang, walaupun dalam bentuk dan intensitas yang berbeda. Secara fisik: mengkonsumsi makanan dan minuman yang cukup gizi, menonton acara-acara hiburan di televisi, berolahraga secara teratur, melakukan tai chi, yoga, relaksasi otot, dan sebagainya.
- Mengenal dan mengubah sumber stres, yang dapat dilakukan dengan tiga macam pendekatan, yaitu: (a) bersikap asertif, yaitu berusaha mengetahui, menganalisis, dan mengubah sumber stres. Misalnya: bila ditegur pimpinan, maka respon yang ditampilkan bukan marah, melainkan menganalisis mengapa sampai ditegur; (b) menarik diri/menghindar dari sumber stres. Tindakan ini biasanya dilakukan bila sumber stres tidak dapat diatasi dengan baik. Namun cara ini sebaiknya tidak dipilih karena akan menghambat pengembangan diri. Kalaupun dipilih, lebih bersifat sementara, sebagai masa penangguhan sebelum mengambil keputusan pemecahan masalah; dan (c) kompromi, yang bisa dilakukan dengan konformitas (mengikuti tuntutan sumber stres, pasrah) atau negosiasi (sampai batas tertentu menurunkan intensitas sumber stres dan meningkatkan toleransi terhadap stres)
Diambil dari Materi Pembinaan Profesi Pengawas Sekolah.
Direktorat Tenaga Kependidikan. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu
Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Departemen Pendidikan Nasional. 2008
================
0 comments:
Post a Comment