ذكر الاستسقاء في الحديث، وهو استفعال من طلب السقيا: أي إنزال الغيث على البلاد والعباد
“Istisqa disebutkan dalam hadits. Arti istisqa adalah permohonan meminta as saqa, yaitu diturunkannya hujan kepada sebuah negeri atau kepada orang-orang”1Namun di kalangan ahli fiqih, sudah dipahami jika disebut shalat istisqa, yang dimaksud adalah permohonan diturunkannya hujan kepada Allah, bukan kepada makhluk2.
Hukum Shalat Istisqa
Shalat istisqa hukumnya sunnah muakkadah (sangat ditekankan) ketika terjadi musim kering, karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan hal tersebut, sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah Radhiallahu’anha:
شكا الناس إلى رسول الله صلى
الله عليه وسلم قحوط المطر فأمر بمنبر فوضع له في المصلى ووعد الناس يوما
يخرجون فيه قالت عائشة فخرج رسول الله صلى الله عليه وسلم حين بدا حاجب
الشمس فقعد على المنبر فكبر صلى الله عليه وسلم وحمد الله عز وجل ثم قال
إنكم شكوتم جدب دياركم واستئخار المطر عن إبان زمانه عنكم وقد أمركم الله
عز وجل أن تدعوه ووعدكم أن يستجيب لكم ثم قال ( الحمد لله رب العالمين الرحمن الرحيم ملك يوم الدين ) لا
إله إلا الله يفعل ما يريد اللهم أنت الله لا إله إلا أنت الغني ونحن
الفقراء أنزل علينا الغيث واجعل ما أنزلت لنا قوة وبلاغا إلى حين ثم رفع
يديه فلم يزل في الرفع حتى بدا بياض إبطيه ثم حول إلى الناس ظهره وقلب أو
حول رداءه وهو رافع يديه ثم أقبل على الناس ونزل فصلى ركعتين فأنشأ الله
سحابة فرعدت وبرقت ثم أمطرت بإذن الله فلم يأت مسجده حتى سالت السيول فلما
رأى سرعتهم إلى الكن ضحك صلى الله عليه وسلم حتى بدت نواجذه فقال أشهد أن
الله على كل شيء قدير وأني عبد الله ورسوله
“Orang-orang mengadu kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang musim kemarau yang
panjang. Lalu beliau memerintahkan untuk meletakkan mimbar di tempat
tanah lapang, lalu beliau membuat kesepakatan dengan orang-orang untuk
berkumpul pada suatu hari yang telah ditentukan”. Aisyah lalu berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar ketika matahari mulai
terlihat, lalu beliau duduk di mimbar. Beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam bertakbir dan memuji Allah Azza wa Jalla, lalu bersabda,
“Sesungguhnya kalian mengadu kepadaku tentang kegersangan negeri kalian
dan hujan yang tidak kunjung turun, padahal Allah Azza Wa Jalla telah
memerintahkan kalian untuk berdoa kepada-Nya dan Ia berjanji akan
mengabulkan doa kalian” Kemudian beliau mengucapkan: “Segala puji bagi
Allah, Rabb semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang
menguasai hari Pembalasan. (QS. Al-Fatihah: 2-4). laa ilaha illallahu
yaf’alu maa yuriid. allahumma antallahu laa ilaha illa antal ghaniyyu wa
nahnul fuqara`. anzil alainal ghaitsa waj’al maa anzalta lanaa quwwatan
wa balaghan ilaa hiin (Tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali
Dia, Dia melakukan apa saja yang dikehendaki. Ya Allah, Engkau adalah
Allah, tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Engkau Yang Maha
kaya sementara kami yang membutuhkan. Maka turunkanlah hujan kepada kami
dan jadikanlah apa yang telah Engkau turunkan sebagai kekuatan bagi
kami dan sebagai bekal di hari yang di tetapkan).” Kemudian beliau terus
mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putihnya ketiak beliau.
Kemudian beliau membalikkan punggungnya, membelakangi orang-orang dan
membalik posisi selendangnya, ketika itu beliau masih mengangkat kedua
tangannya. Kemudian beliau menghadap ke orang-orang, lalu beliau turun
dari mimbar dan shalat dua raka’at. Lalu Allah mendatangkan awan yang
disertai guruh dan petir. Turunlah hujan dengan izin Allah. Beliau tidak
kembali menuju masjid sampai air bah mengalir di sekitarnya. Ketika
beliau melihat orang-orang berdesak-desakan mencari tempat berteduh,
beliau tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya, lalu bersabda: “Aku
bersaksi bahwa Allah adalah Maha kuasa atas segala sesuatu dan aku
adalah hamba dan Rasul-Nya” (HR. Abu Daud no.1173, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Ibnu Qudamah berkata: “Shalat istisqa hukumnya sunnah muakkadah, ditetapkan oleh sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan Khulafa Ar Rasyidin“3Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Para ulama telah ber-’ijma bahwa keluar beramai-ramai untuk shalat istisqa di luar daerah dengan doa dan memohon kepada Allah untuk menurunkan hujan ketika musim kemaran dan kekeringan melanda hukumnya adalah sunnah, yang telah disunnahkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tanpa ada perbedaan pendapat diantara para ulama dalam hal ini”4
Penyebab Terjadinya Kekeringan
Sebab terjadinya kekeringan yang berkepanjangan, bencana alam serta musibah-musibah lain secara umum adalah maksiat. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan
oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar
(dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy Syuraa: 30)Selain merebaknya maksiat secara umum, banyaknya orang yang enggan membayar zakat serta banyak kecurangan dalam jual beli, menjadi penyebab khusus atas terjadinya kekeringan dan masa-masa sulit. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
يا معشر المهاجرين: خمس إذا ابتليتم بهن وأعوذ بالله أن تدركوهن: لم تظهر الفاحشة في قوم قطُّ حتى يعلنوا بها إلاَّ فشا فيهم الطاعونُ والأوجاعُ التي لم تكن مضت في أسلافهم الذين مَضَوا.ولم ينقصوا المكيال والميزان إلا أُخذوا بالسنين وشدة المؤونة وجَوْر السلطان عليهم. ولم يَمْنعوا زكاة أموالهم إلا مُنعوا القطرَ من السماء، ولولا البهائمُ لم يُمطروا. ولم ينقضوا عهد الله وعهد رسوله إلا سلّط الله عليهم عدوًّا من غيرهم فأخذوا بعض ما في أيديهم. وما لم تحكم أئمتهم بكتاب الله ويتخيروا مما أنزل الله إلا جعل الله بأسهم بينهم
“Wahai sekalian kaum muhajirin, kalian akan diuji dengan lima perkara dan aku memohon perlindungan Allah agar kalian tidak ditimpa hal-hal tersebut.
-
Ketika perbuatan keji merajalela di tengah-tengah kaum hingga mereka berani terang-terangan melakukannya, akan menyebar penyakit menular dan kelaparan yang belum pernah mereka alami sebelumnya.
-
Ketika orang-orang gemar mencurangi timbangan, akan ada tahun-tahun yang menjadi masa sulit bagi kaum muslimin dan penguasa berbuat jahat kepada mereka
-
Ketika orang-orang enggan membayar zakat, air hujan akan ditahan dari langit. Andaikata bukan karena hewan-hewan ternak, niscaya hujan tidak akan pernah turun.
-
Ketika orang-orang mengingkari janji terhadap Allah dan Rasul-Nya, Allah akan menjadikan musuh dari selain mereka berkuasa atas mereka, kemudian mengambil sebagian apa yang ada di tangan mereka,
- Ketika para penguasa tidak berhukum dengan Kitab Allah dan mereka memilih selain dari apa yang diturunkan oleh Allah, Allah akan menjadikan kehancuran mereka dari diri mereka sendiri”
Sebagai perenungan akan masalah ini, silakan simak artikel Akibat Perbuatan Maksiat.
Beberapa Jenis Istisqa Kepada Allah
Memohon kepada Allah agar diturunkan hujan berdasarkan apa yang ditetapkan oleh syari’at, dapat dilakukan dengan beberapa cara:
Pertama, shalat istisqa secara berjama’ah ataupun sendirian5.
Kedua, imam shalat Jum’at memohon kepada Allah agar diturunkan hujan dalam khutbahnya. Para ulama ber-ijma’ bahwa hal ini disunnahkan senantiasa diamalkan oleh kaum muslimin sejak dahulu6. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, sebagaimana diceritakan sahabat Anas Bin Malik Radhiallahu’anhu:
أن رجلا دخل المسجد يوم الجمعة ،
من باب كان نحو دار القضاء ، ورسول الله صلى الله عليه وسلم قائم يخطب ،
فاستقبل رسول الله صلى الله عليه وسلم قائما ، ثم قال : يا رسول الله ، هلكت الأموال وانقطعت السبل ، فادع الله يغثنا . فرفع رسول الله صلى الله عليه وسلم يديه ، ثم قال :اللهم أغثنا، اللهم أغثنا، اللهم أغثنا . قال أنس : ولا والله ، ما نرى في السماء من سحاب ، ولا قزعة ، وما بيننا وبين سلع من بيت ولا دار . قال : فطلعت من ورائه سحابة مثل الترس ، فلما توسطت السماء انتشرت ثم أمطرت . فلا والله ما رأينا الشمس ستا
“Seorang lelaku memasuki masjid pada
hari jum’at melalui pintu yang searah dengan daarul qadha. Ketika itu
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedang berkhutbah dengan posisi
berdiri. Lelaki tadi berkata: ‘Wahai Rasulullah, harta-harta telah
binasa dan jalan-jalan terputus (banyak orang kelaparan dan kehausan).
Mintalah kepada Allah agar menurunkan hujan!’. Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam lalu mengangkat kedua tangannya dan
mengucapkan: Allahumma aghitsna (3x). Anas berkata: ‘Demi Allah, sebelum
itu kami tidak melihat sedikitpun awan tebal maupun yang tipis.
Awan-awan juga tidak ada di antara tempat kami, di bukit, rumah-rumah
atau satu bangunan pun”. Anas berkata, “Tapi tiba-tiba dari bukit
tampaklah awan bagaikan perisai. Ketika sudah membumbung sampai ke
tengah langit, awan pun menyebar dan hujan pun turun”. Anas melanjutkan,
“Demi Allah, sungguh kami tidak melihat matahari selama enam hari’” (HR. Bukhari no.1014, Muslim no.897)
Ketiga, berdoa setelah shalat atau berdoa sendirian tanpa didahului shalat. Para ulama ber-’ijma akan bolehnya hal ini7.
Tempat Shalat Istisqa
Shalat istisqa lebih utama dilakukan di lapangan, sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah Radhiallahu’anha disebutkan:
فأمر بمنبر فوضع له في المصلى
“Lalu beliau memerintahkan untuk meletakkan mimbar di tempat tanah lapang”
Juga dalam hadits Abdullah bin Zaid Al Mazini:
أن النبي صلى الله عليه وسلم خرج إلى المصلى ، فاستسقى فاستقبل القبلة ، وقلب رداءه ، وصلى ركعتين
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
keluar menuju lapangan. Beliau meminta hujan kepada Allah dengan
menghadap kiblat, kemudian membalikan posisi selendangnya, lalu shalat 2
rakaat” (HR. Bukhari no. 1024)
Namun boleh melakukannya di masjid, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani8 :
قوله : ( باب الاستسقاء في المسجد الجامع ) أشار بهذه الترجمة إلى أن الخروج إلى المصلى ليس بشرط في الاستسقاء
“Perkataan Imam Al Bukhari: ‘Bab Shalat Istisqa di Masjid Jami‘, menunjukkan tafsiran beliau bahwa keluar menuju lapangan bukanlah syarat sah shalat istisqa”
Waktu Pelaksanaan Shalat Istisqa
Shalat istisqa tidak memiliki waktu khusus namun terlarang dikerjakan di waktu-waktu terlarang untuk shalat9.
Akan tetapi yang lebih utama adalah sebagaimana waktu pelaksanaan
shalat ‘Id, yaitu ketika matahari mulai terlihat. Sebagaimana dalam
hadits ‘Aisyah Radhiallahu’anha disebutkan:
فخرج رسول الله صلى الله عليه وسلم حين بدا حاجب الشمس
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar ketika matahari mulai terlihat”
Tata Cara Shalat Istisqa
Para ulama berbeda pendapat mengenai tata cara shalat istisqa. Ada dua pendapat dalam masalah ini:
Pendapat pertama, tata cara shalat istisqa adalah sebagaimana shalat ‘Id. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu:
إن رسول الله صلى الله عليه
وسلم خرج متبذلا متواضعا متضرعا حتى أتى المصلى فلم يخطب خطبتكم هذه ، ولكن
لم يزل في الدعاء ، والتضرع ، والتكبير ، وصلى ركعتين كما كان يصلي في
العيد
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam
berjalan menuju tempat shalat dengan penuh ketundukan, tawadhu’, dan
kerendahan hati hingga tiba di tempat shalat. Lalu beliau berkhutbah
tidak sebagaimana biasanya, melainkan beliau tidak henti-hentinya
berdoa, merendah, bertakbir dan melaksanakan shalat dua raka’at
sebagaimana beliau melakukan shalat ‘Id” (HR. Tirmidzi no.558, ia berkata: “Hadits hasan shahih”)
Tata caranya sama dengan shalat ‘Id dalam jumlah rakaat, tempat pelaksanaan, jumlah takbir, jahr dalam bacaan dan bolehnya khutbah setelah shalat10. Ini adalah pendapat mayoritas ulama diantaranya Sa’id bin Musayyab, ‘Umar bin Abdil Aziz, Ibnu Hazm, dan Imam Asy Syafi’i.
Hanya saja berbeda dengan shalat ‘Id dalam beberapa hal:
-
Hukum. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Namun shalat istisqa berbeda dengan shalat ‘Id dalam hal hukum shalat Istisqa adalah sunnah, sedangkan shalat ‘Id adalah fardhu kifayah”. Sebagian ulama muhaqqiqin juga menguatkan hukum shalat ‘Id adalah fardhu ‘ain11.
-
Waktu pelaksanaan. Sebagaimana telah dijelaskan.
Mengenai tata cara shalat ‘Id secara rinci silakan baca kembali artikel: Panduan Shalat Idul Fithri dan Idul Adha
Pendapat kedua, tata cara
shalat istisqa adalah sebagaimana shalat sunnah biasa, yaitu sebanyak
dua rakaat tanpa ada tambahan takbir. Hal ini didasari hadits dari
Abdullah bin Zaid:
خرج النبي - صلى الله عليه وسلم - إلى المصلى فاستقبل القبلة وحول رداءه، وصلى ركعتين
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
keluar menuju lapangan. Beliau meminta hujan kepada Allah dengan
menghadap kiblat, kemudian membalikan posisi selendangnya, lalu shalat 2
rakaat” (HR. Bukhari no.1024, Muslim no.894).
Zhahir hadits ini menunjukkan shalat
istisqa sebagaimana shalat sunnah biasa, tidak adanya takbir tambahan.
Ini adalah pendapat Imam Malik, Al Auza’i, Abu Tsaur, dan Ishaq bin
Rahawaih.
Ibnu Qudamah Al Maqdisi setelah menjelaskan dua tata cara ini beliau mengatakan12 : “Mengerjakan yang mana saja dari dua cara ini adalah boleh dan baik”.
[Bersambung, insya Allah]
—
1 Lisaanul ‘Arab, 14/393
2 Syarhul Mumthi’, 5/361
5 Al Ihkam Syarh Ushulil Ahkam, Ibnul Qasim, 1/504
6 Al Ihkam Syarh Ushulil Ahkam, Ibnul Qasim, 1/504
7 Lihat Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi 6/439, Al Inshaf 5/436, Al Mughni 3/348
9 Al Mughni, 3/327 – 328
10 Al Mughni 3/335, Hasyiah Ibnu Qasim Ala Ar Radhil Murbi’ 2/541, Asy Syarhul Kabir Lil Inshaf 5/411
11 Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 24/183
12 Al Mughni, 3/335 – 337
Diringkas dari kitab Shalatul Istisqa Fii Dhau-i Al Kitab Was Sunnah, karya Syaikh DR. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al Qahthani, dengan beberapa tambahan.
–
Penyusun: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
Diringkas dari kitab Shalatul Istisqa Fii Dhau-i Al Kitab Was Sunnah, karya Syaikh DR. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al Qahthani, dengan beberapa tambahan.
–
Penyusun: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
0 comments:
Post a Comment